ISTRI SAYA TIDAK PANDAI MASAK, BISA SAYA CERAIKAN?

(Sebuah Pandangan Analisis terhadap Fenomena Dalil-dalil Perceraian pada Lembaga Peradilan di Indonesia)

Oleh; Muhammad Ilham,Lc., M.H

(Hakim pada Pengadilan Agama Serui kelas II)

Pasal  39  ayat  (2)  Undang–undang  RI  Nomor  1  Tahun  1974

Tentang Perkawinan menyebutkan; Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.1 Sedangkan, dalam Penjelasan Umum Undang- undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada angka 4 huruf (e)  menyebutkan: Karena tujuan perkawinan adalah untuk  membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.2 Jadi, setidaknya ada dua kriteria mendasar   dalam   mengajukan   gugatan   perceraian,   pertama   harus dianggap cukup alasan. Kedua harus  memenuhi kriteria  alasan-alasan tertentu. Tidak dibenarkan jika perceraian yang diajukan ternyata belum cukup alasan serta tidak memenuhi unsur alasan-alasan tertentu.

Standarisasi dalil-dalil atau alasan perceraian yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan tersebut dimaksudkan agar tidak setiap orang dengan mudah dan sewenang-wenang mengajukan gugatan ke pengadilan.  Suatu  tuntutan  perdata  harus  memiliki  dasar  hukum  dan kepentingan yang cukup dan layak karena sangat erat kaitannya dengan masalah-masalah dalam persidangan, dasar hukum dapat berupa peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin, praktik pengadilan dan kebiasaan yang sudah diakui sebagai hukum.3

1Republik   Indonesia,   Undang-undang   RI  Nomor   1   Tahun   1974   Tentang

Perkawinan, Pasal 39 ayat (2).

2Republik Indonesia, Penjelasan Umum Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan, Angka 4 huruf e.

Dalam hal mengajukan dalil gugatan (terhadap perkara apapun itu), sangat relevan jika kiranya penulis mengutip apa yang dikemukakan oleh Jeremias  Lemek  bahwa  dalam  membuat  surat  gugatan  yang  akan diajukan kepada pengadilan, kemungkinan untuk mempertahankan agar gugatan itu  dapat berhasil  menang  dalam sidang  majelis hakim,  tidak ubahnya seperti orang bertinju. Dalam bertinju bukan banyaknya pukulan yang harus kena di tubuh lawan sehingga ia memperoleh nilai yang tinggi, tetapi cukup satu pukulan tetapi pukulan itu membuat knock out sehingga lawan terjatuh dan tidak bangun lagi sampai hitungan terakhir dari wasit yang memimpin tinju tersebut. Demikian juga kiranya dalam hal membuat surat gugatan, bukan banyaknya kejadian dan peristiwa serta teori hukum yang menentukan berhasil tidaknya gugatan itu dalam sidang pengadilan, cukup  satu  atau  dua  peristiwa  kejadian  dan  peristiwa  hukum sebagai dasar dari gugatan tetapi dalil-dalil gugat itu dapat dipertahankan dengan baik  dalam sidang pengadilan sehingga penggugat  dapat  memperoleh kemenangan.4

Jadi, dalam hal mengajukan gugatan perceraian, tidak perlu mencantumkan segala pertengkaran dan perselisihan yang terjadi, cukup dicantumkan  alasan  yang  dianggap  kuat  dan  dapat  dibuktikan,  yang mampu meyakinkan kepada majelis hakim bahwa alasan-alasan tersebut sungguh telah membawa rumah tangga pihak berperkara diambang kehancuran.

3Abdul  Manan,  Penerapan  Hukum  Acara  Perdata  di  Lingkungan  Peradilan

Agama, h. 17.

4Jeremias Lemek, Penuntun Membuat Gugatan  (Yogyakarta: Liberty, 1993), h, 10.

Kembali pada bunyi dan substansi  pokok  pasal dan  penjelasan umum pasal tersebut di atas, ada dua hal pertanyaan penting di sini; “alasan cukup” bagaimana  yang dimaksud oleh undang-undang? Lalu, seperti apa kriteria “alasan-alasan tertentu” yang dimaksud oleh Undang- undang perkawinan di Indonesia? Apakah jika pasangan suami istri bersepakat untuk bercerai dapat dianggap sebagai alasan yang cukup serta dapat dijadikan sebagai alasan-alasan tertentu? Ataukah, sang istri ternyata tidak pandai memasak, dengan alasan tersebut dapat dijadikan sebagai alasan atau dalil untuk bercerai? Atau, ternyata nafkah suami yang dianggap kurang atau tidak cukup oleh sang istri, lantas sang istri dapat dianggap memiliki hak dan mempunyai alasan-alasan tertentu untuk melakukan gugatan perceraian?

Apa  saja  kriteria  atau  unsur-unsur  alasan-alasan  tertentu  yang dapat  dianggap  cukup  tersebut?  Berikut  penulis  paparkan  poin-poin penting yang dapat dianggap sebagai kriteria atau ciri-ciri dari “alasan- alasan   tertentu”   atau   yang   dianggap   “cukup”   sebagaimana   yang ditemukan dalam peraturan perundang-undangan dalam perkara perceraian yang berlaku di Indonesia:

a. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 & Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan- alasan:

a.  Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b.  Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

c.  Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d.  Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e.  Salah  satu  pihak  mendapat  cacat  badan  atau  penyakit  dengan

akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;

f.    Antara  suami  dan  istri  terus-menerus  terjadi  perselisihan  dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 116 ditemukan dua poin tambahan, yaitu;

g.  Suami melanggar taklik talak;

h.  Peralihan  agama  atau  murtad  yang  menyebabkan  terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

b. Taklik Talak

Dalam KHI sebagaimana bunyi Pasal 116 huruf (g) di atas, bahwa jika istri tidak rela atas perlakuan suami maka istri dapat mengajukan gugatan perceraian berdasarkan terwujudnya “Suami melanggar taklik talak”. Tetapi, apa itu taklik talak? Taklik talak menurut pengertian hukum Indonesia merupakan perjanjian yang dimana suami menggantungkan terjadinya suatu talak atas istrinya apabila ternyata dikemudian hari suami melanggar salah satu atau semua perjanjian dalam taklik talak 5.

5Kamal Muchtar, Asas-asas hukum Islam tentang Perkawinan   (Jakarta: Bulan Bintang), h. 207

Adapun wajib atau tidaknya diucapkan taklik talak tersebut oleh suami sesaat setelah akad pernikahan, maka dalam KHI Pasal 46 ayat (3) disebutkan; Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali. Sedangkan rumusan taklik talak telah diatur dalam Peraturan Menteri  Agama RI  Nomor 2 Tahun 1990 yang pada pokok rumusannya berbunyi sebagai berikut;

“Sesudah akad nikah, saya … bin … berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama … binti … dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran Islam. Selanjutnya saya mengucapkan  sighat  taklik  atas  istri  saya  itu  sebagai  berikut, sewaktu-waktu saya:

a. Meninggalkan Istri saya dua tahun berturut-turut;

b. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya;

c. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu;

d. Atau saya membiarkan (tidak memedulikan) istri saya itu enam bulan lamanya

Kemudian istri saya itu tidak ridho dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang memberinya hak untuk mengurus pengaduan itu dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 1.000,00 (seribu rupiah) sebagai ‘iwad (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya”.

Dalam fakta yuridis yang dihimpun dapat diketahui bahwa sejak tahun 1940 sampai sekarang, rumusan sigat taklik telah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan mengenai syarat taklik yang berlaku di Indonesia sejak sebelum merdeka (1940) hingga setelah merdeka yakni

sejak ditentukan oleh Kementerian Agama RI pada tahun 1947, 1950,

1956, dan 1975 semakin menunjukkan kualitas syar’i, yakni mempersukar terjadinya perceraian sekaligus melindungi istri dari perbuatan sewenang- wenang suami.6

Jika sang suami telah melanggar perjanjian sebagaimana dalam isi

taklik  talak  yang  telah  diucapkan,  maka  dengan  pelanggaran  tersebut sang   istri   dapat   menjadikannya   sebagai   dalil   perceraian   ketika mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan agama. Karena pelanggaran yang dilakukan oleh suami sebagaimana dalam taklik talak, tidak serta merta menjadikan pernikahan putus seketika. Hal tersebut sebagaimana yang diinstruksikan dalam Pasal 46 ayat (2) KHI bahwa; Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh- sungguh  jatuh,  istri  harus  mengajukan  persoalannya  ke  pengadilan Agama.

c.   SEMA Nomor 4 Tahun 2014

Dalam Rapat Kamar Perdata Mahkamah Agung RI yang diselenggarakan pada tanggal  19  s.d 20  Desember 2013  di  Pusdiklat Mahkamah Agung RI, yang diikuti para Hakim Agung dan Panitera Pengganti Kamar Perdata, telah menghasilkan kesepakatan sebagai berikut, bahwa gugatan cerai dapat dikabulkan jika fakta menunjukkan rumah tangga sudah pecah (broken marriage) dengan indikator antara lain:

  •  Sudah ada upaya damai tetapi tidak berhasil;
  • Sudah tidak ada komunikasi yang baik antara suami;
  • Salah   satu   pihak   atau   masing-masing   pihak   meninggalkan kewajibannya sebagai suami istri;
  • Telah terjadi pisah ranjang/tempat tinggal bersama;
  • Hal-hal lain yang ditemukan dalam persidangan (seperti adanya WIL (Wanita Idaman Lain), PIL (Pria Idaman Lain), KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), main judi dan lain-lain).

6Abdul  Manan,  Penerapan  Hukum  Acara  Perdata  di  Lingkungan  Peradilan Agama, h. 422-423.

Jika kita perhatikan, maka terhadap kriteria atau indikator tentang alasan-alasan perceraian yang tertuang dalam deretan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, maka   dapat disimpulkan bahwa; dalil atau alasan perceraian bukan hanya berfokus pada perbuatannya semata, tetapi juga berfokus pada akibat yang ditimbulkannya. Karena judi, zina atau KDRT, Itu merupakan “sebab”. Sedangkan rumah tangga yang sudah pecah (broken marriage) atau tidak adanya komunikasi yang baik antara suami istri, adalah merupakan “akibat” yang ditimbulkan dari sebuah perselisihan yang terjadi dalam rumah tangga.

Sebuah misal, andai kata seorang suami telah mengakui perbuatannya yang sering berjudi, lalu dengan pengakuan tersebut sang istri  mengajukan  gugatan  cerai  di  pengadilan  dengan  dasar  judi  yang diakui oleh suami tersebut, maka ditinjau dari segi hukum materil dan formil, tentu saja alasan tersebut dapat dikabulkan oleh majelis di persidangan.  Karena  judi  telah  termaktub  pada  huruf  (a)  Pasal  19

Peraturan  Pemerintah  Nomor  9  Tahun  1975    juncto  Pasal  116  KHI

sebagaimana yang disebutkan di atas.

Tetapi, apakah setiap judi meniscayakan pasangan suami istri menjadi enggan melanjutkan perjalanan rumah tangganya? belum tentu! Karena setiap orang memiliki cara dan sikap yang berbeda-beda dalam menyikapi permasalahan rumah tangganya. Boleh jadi, pengakuan sang
suami yang sering bermain judi tersebut dapat disikapi dan diatasi secara kekeluargaan oleh sang istri. Sikap sang istri ternyata melibatkan Orang tua  dari  kedua  mempelai  agar  terlibat  dalam  menyadarkan  perbuatan sang suami. Alhasil, perbuatan sang suami dapat segera diatasi dan segera dipulihkan, bahkan dengan kejadian tersebut sang suami menjadi menyesal  dan  merasa bersalah,  lantas kembali  bertaubat  dan  berjanji akan lebih baik lagi.

Beda halnya jika judi tersebut disikapi dengan panik oleh sang istri, masalahnya  diperlebar  hingga  dilaporkan  ke  pihak  kepolisian,  atau berbalik arah dan meambah permasalahan dengan meninggalkan kediaman bersama tanpa didahului musyawarah dan upaya-upaya untuk memulihkan keadaan, seraya berkeyakinan bahwa “cerai merupakan jalan satu-satunya”, maka dapat dipastikan bahwa sikap seperti ini akan menimbulkan akibat yang lebih besar. Jadi bukan soal judi atau tidaknya, selingkuh atau tidaknya, bahkan enak atau tidak enaknya masakan sang istri, tetapi ini soal retak atau tidaknya rumah tangga, ada atau tidaknya upaya suami istri untuk memulihkan keadaaan. Fenomena seperti ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Syarif  Mappiasse, bahwa Hakim dalam mengadili perkara tidak hanya membaca teks, tetapi berusaha  menembus  apa  yang  ada  di  balik  teks,  berdialog  dengan konteks seraya melibatkan kepekaan nuraninya.7

7 Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim (Cet.II; Jakarta: Kencana, 2017), h. 91.

Setiap permasalahan dalam rumah tangga akan terus muncul hingga   akhir   hayat,   sesempurna   dan   se-frekuensi   bagaimanapun pasangan suami istri itu, pasti akan dirundung masalah demi masalah, tetapi parah atau tidaknya permasalahan tersebut tergantung dari cara menyikapinya.  Sungguh tidak  ada satupun keluarga  yang  benar-benar sempurna, dengan siapapun kita berjodoh, permasalahan adalah sunnatullah yang akan tetap muncul satu demi satu hingga hari tua kelak. Pertengkaran adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh setiap pasangan suami istri.

Jika setiap perselisihan dan perbedaan pendapat hanya dapat disikapi dengan emosi, maka sungguh hanya dengan meletakkan handuk basah di atas kasur, sepasang suami istri bisa cekcok dan bertengkar tak berkesudahan. Jika setiap masalah disikapi dengan nafsu amarah yang tidak bisa dikendalikan, maka sungguh hanya karena terlambat membuka pintu, sepasang suami istri bisa pisah ranjang sepanjang hari. Dan seterusnya!

Maka dari itu, parah atau tidaknya sebuah rumah tangga, retak atau tidaknya   rumah   tangga,   semuanya   dan   seluruhnya   kembali   pada pasangan suami  istri  yang  bersangkutan  tentang  bagaimana menyikapinya. Terlalu remeh-temeh, jika hanya karena masakan sang istri yang kurang enak, lantas dikomentari oleh suami yang dianggapnya masakan mantan jauh lebih enak. Sungguh tidak beretika, tidak dewasa. Sudah tidak enak, dibanding-bandingkan pula dengan masakan sang mantan. Begitu pula dengan sang istri, jangan karena kado ulang tahun yang diberikan sang suami saat merayakan ulang tahun dianggap murah lalu dibanding-bandingkan dengan kado pemberian sang mantan. Sudah dianggap murah, dibanding-bandingkan pula. Tidak ada rasa syukur sama sekali. Kekanak-kanakan pula!

Hendaknya pasangan suami istri bukan hanya melihat dari satu sisi semata atau dari hasilnya saja, enak atau tidak masakan sang istri, murah atau   mahalnya   pemberian   kado   sang   suami.   Tetapi   lihat   dan

renungkanlah dari banyak sisi, betapa banyak waktu dan tenaga yang dikorbankan sang istri yang mungkin dulunya tidak tahu-menahu soal dapur; pusing membedakan mana kunyit, mana jahe dan mana lengkuas, lantas setelah jadi istri, oleh suami dituntut masak rendang dan opor ayam di hari lebaran. Begitu pula dengan kado yang dianggap murahan oleh sang istri, lihatlah betapa banyak waktu dan tenaga yang disisihkan oleh sang suami di sela-sela kesibukannya, untuk sekadar membahagiakan sang istri. Dan seterusnya!

Jangan gegabah  menyodorkan persengketaan rumah tangga  ke pengadilan. Sungguh Allah swt. tidak akan menimpakan beban kepada Hamba-Nya melainkan sesuai dengan kemampuannya. Ingatlah masa depan anak, mundurlah selangkah demi dan atas nama baik keluarga. Pegang  erat kata “kita” dan  jangan  terpaku pada  kata “aku”.  Ingatlah kembali masa-masa pacaran dulu sewaktu anda berdua dimabuk kepayang  oleh  cinta.  Mana  kata-kata  hiperbola  kalian  dahulu  yang katanya tak bisa hidup tanpamu. Mari sama-sama instrospeksi diri dan menata  hati,  karena  perceraian  meski  ia  halal,  tetapi  sungguh  amat dibenci oleh Allah swt. Semoga tulisan singkat ini dapat menjadikan rumah tangga kita semakin dekat dalam dekapan Allah swt sehingga bisa tetap tetap terjaga dan harmonis,  demikian masa depan anak-anak  menjadi cerah dan penuh optimis. Terima kasih!

Daftar Pustaka

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan

Agama.

Jeremias  Lemek,  Penuntun  Membuat  Gugatan    (Yogyakarta:  Liberty,

1993.

Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 46 ayat (2) dan ayat (3). Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 1990.

SEMA Nomor 4 Tahun 2014.

Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, Pasal 39 ayat (2).

Republik  Indonesia,  Penjelasan  Umum  Undang-undang  RI  Nomor  1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Angka 4 huruf (e).

Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, Cet.II; Jakarta: Kencana, 2017.