Oleh : Nur Muhammad Huri, S.H.I., M.H. (Wakil Ketua PA Serui)
Pengertian wajib adalah suatu perkara yang harus dilakukan oleh pemeluk agama Islam yang sudah dewasa dan waras (berakal). Wajib bersifat mutlak harus dikerjakan, hal ini berbeda dengan perkara yang sunah dan mubah.
Gus Baha’ menyatakan bahwa Perbuatan mewajibkan suatu perkara yang tidak wajib adalah dosa besar dan termasuk Criminal dalam konstitusi ilmu. Hukum mewajibkan perkara yang tidak wajib dan mengharamkan yang baik berpotensi bahaya karena menambah beban bagi umat islam.
Bagaimana hukumnya jika seseorang lebih mendahulukan perkara sunah daripada mengerjakan perkara wajib ? hal ini tidak dapat dibenarkan karena perkara wajib jika ditinggalkan akan berdosa sedangkan perkara sunah jika ditinggalkan tidak akan berdosa. Olehnya setiap muslim harus mendahulukan / mengutamakan perkara wajib baru kemudian melakukan perkara-perkara sunah sebagai tambahan.
Dr. Yusuf Al Qaradhawi dalam bukunya Fikih Prioritas juga telah menjelaskan secara rinci agar setiap muslim hendaknya beramal berdasarkan prioritas hukum, yaitu mendahulukan hal-hal yang paling urgen terlebih dahulu.
Berbicara tentang kewajiban ini, dalam fikih juga terdapat kaidah fikih yang berbunyi: ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب (Ma Laa Yatimmul Wajib Illa Bihii Fa Huwa Wajib), artinya : Perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, hukumnya juga wajib. Hal ini dicontohkan seperti berwudhu, tayamum dls.
Dalam hal lain, terdapat kisah tentang Rasulullah SAW yang mengharamkan dirinya untuk minum madu dengan alasan untuk menyenangkan istri beliau. Kemudian turunlah QS. At Tahrim 1-2 dimana melalui ayat tersebut Rasullullah SAW ditegur dengan kalimat :
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ اَحَلَّ اللّٰهُ لَكَۚ تَبْتَغِيْ مَرْضَاتَ اَزْوَاجِكَۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Terjemahnya : 1. Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu? Engkau ingin menyenangkan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
قَدْ فَرَضَ اللّٰهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ اَيْمَانِكُمْۚ وَاللّٰهُ مَوْلٰىكُمْۚ وَهُوَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ
Terjemahnya : 2. Sungguh, Allah telah mewajibkan kepadamu membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
Melalui ayat tersebut secara tidak langsung dapat difahami bahwa mengharamkan suatu perkara yang dihalalkan oleh Allah adalah tidak dibenarkan. Ketika seorang muslim sudah bersumpah mengharamkan suatu perkara bagi dirinya padahal Allah tidak melarangnya, maka dia diwajibkan untuk membebaskan sumpahnya itu dengan membayar kafarat.
Kemudian di QS. Al Maidah 87 Allah juga telah berfirman :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُحَرِّمُوا۟ طَيِّبَٰتِ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُعْتَدِينَ
Terjemahnya : 87. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Dari ayat tersebut juga difahami bahwa Allah melarang orang-orang beriman untuk mengharamkan sesuatu perkara yang baik yang Allah sendiri telah tetapkan hukumnya halal / boleh.
Inti dari kedua teguran tersebut adalah Allah melarang seseorang yang beragama islam untuk mewajibkan perkara yang tidak wajib dan juga mengharamkan suatu yang baik yang Allah halalkan. Bagi seseorang yang sudah terlanjur bersumpah bagi dirinya dengan mewajibkan perkara yang tidak wajib dan atau mengharamkan suatu yang baik yang Allah halalkan, maka dia harus membebaskan dirinya dari sumpahnya itu dengan membayar kafarat. Dalam hal mendidik (tarbiah) juga tidak dapat dibenarkan mewajibkan suatu perkara bagi seseorang, missal : pada saat Ramadhan, maka anak-anak yang belum mukallaf belum terbebani kewajiban untuk berpuasa di bulan Ramadhan, namun anak-anak tersebut dapat dilatih sejak dini untuk membiasakan diri ikut berpuasa di bulan romadhan.