Oleh: Muhammad Taufiq Torano, S.H.I., M.H. (Ketua Pengadilan Agama Serui)
Suami istri sama-sama mempunyai hak dan kewajiban. Hal ini seharusnya keduanya dapat mengkomunikasikan, memusyawarahkan dan memutuskan bersama atas dasar kesepakatan, sehingga tidak ada satupun yang merasa dirugikan. Dampak psikologis yang ditimbulkan akibat mengabaikan hak-hak yang dapat dinikmati antara lain: merasa tidak nyaman, bosan, ketakutan suami berselingkuh, tidak merasakan kepuasan, ingin mengakhiri perkawinan, stres, depresi dan sebagainya.
Adanya kelalaian untuk memberikan nafkah dapat mengakibatkan pihak yang wajib dinafkahinya menjadi terlantar. Biasanya pihak yang ditelantarkan haknya hanya menyerahkan nasibnya kepada rasa kasihan pihak yang mempunyai kewajiban. Akibatnya tidak sedikit anak yang terlantar, dibiarkan begitu saja oleh ayahnya tanpa ada pembelaan. Kelalaian seseorang untuk memberikan nafkah kepada pihak yang wajib dinafkahinya adalah suatu kejahatan apabila kelalaiannya itu telah menimbulkan madarat pada diri orang yang wajib dinafkahinya.
Khulu’ adalah perceraian antara suami istri di mana suami menerima ganti rugi dari istri. Khulu’ (minta cerai dengan memberi ganti rugi) itu hukumnya boleh walaupun ganti rugi itu berupa barang yang tertentu. Apabila Khulu’ berlangsung, maka istri tidak lagi menjadi tanggungan suami. Khulu’ itu tidak sama dengan thalaq (istri yang dicerai oleh suami), sebab thalaq (perceraian raj’i) itu semua tanggungan (baik rumah ataupun nafkah) masih menjadi beban dari pihak suami.
Seorang suami apabila menceraikan istrinya dengan talak raj’i, maka selama dalam iddahnya suami harus memberi tempat tinggal dan memberi nafkah kepada istrinya. Apabila istri tertalaq ba’in (talak yang tidak boleh dirujuk) maka suami harus memberi tempat tinggal dan tidak wajib memberi nafkah, kecuali apabila istrinya dalam keadaan hamil, maka suami harus memberi nafkah pula. Dan wajib bagi seorang istri yang ditinggal mati oleh suami berihdad (berkabung) yaitu menahan diri dari berhias dan menggunakan wangi-wangian. Dan wajib pula menetap di rumah sebagaimana perempuan yang diceraikan baik oleh suaminya, kecuali apabila ada keperluan yang sangat penting maka ia boleh keluar dari rumah. Hal ini merujuk kepada firman Allah dalam Q.S. at-Talaq 65:6
Terjemahnya: Tempatkanlah mereka (para istri yang dicerai) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (para istri yang dicerai) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu sama-sama menemui kesulitan (dalam hal penyusuan), maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Kewajiban memberi tempat tinggal dan nafkah kepada istri yang dicerai talaq raj’i juga merujuk hadis sebagai berikut:
قَالَ حَدَّثَنَا الشَّعْبِيُّ، قَالَ حَدَّثَتْنِي فَاطِمَةُ بِنْتُ قَيْسٍ، قَالَتْ أَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ فَقُلْتُ أَنَا بِنْتُ آلِ خَالِدٍ وَإِنَّ زَوْجِي فُلاَنًا أَرْسَلَ إِلَىَّ بِطَلاَقِي وَإِنِّي سَأَلْتُ أَهْلَهُ النَّفَقَةَ وَالسُّكْنَى فَأَبَوْا عَلَىَّ . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُأَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَزِيدَ الأَحْمَسِيُّ، قَدْ أَرْسَلَ إِلَيْهَا بِثَلاَثِ تَطْلِيقَاتٍ . قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ “ إِنَّمَا النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى لِلْمَرْأَةِ إِذَا كَانَ لِزَوْجِهَا عَلَيْهَا الرَّجْعَةُ
Artinya: “Dari Fathimah binti Qays, ia berkata: “Aku menemui Nabi SAW, dan menjelaskan bahwa aku adalah anak dari keluarga Khalid. Suamiku, si Fulan mengutus seseorang kepadaku untuk menyampaikan talaknya. Aku menuntut kepada keluarganya hakku terhadap nafkah dan tempat tinggal. Mereka tidak mengabulkannya. Mereka menjelaskan kepada Rasulullah bahwa “Suaminya telah menyampaikan talak sebanyak tiga kali”. Fathimah berkata lagi: “Rasulullah SAW bersabda: ‘Hak nafkah dan tempat tinggal hanya dimiliki oleh seorang perempuan apabila suaminya masih memiliki hak rujuk kepadanya’. (HR. al-Nasa`iy).
Memberi nafkah kepada keluarga (ayah, ibu dan anak) secara timbal balik itu hukumnya wajib dan orang tua wajib diberi nafkah oleh anak-anaknya dengan 2 ketentuan:
- Jika orang tua dalam keadaan fakir dan tidak kuat untuk bekerja.
- Jika orang tua dalam keadaan fakir dan tidak normal otaknya (gila).
Sedangkan anak-anak wajib diberi nafkah oleh orang tuanya dengan 3 ketentuan:
- Jika anak dalam keadaan fakir dan masih kecil (belum dewasa).
- Jika anak dalam keadaan fakir dan tidak kuat untuk bekerja.
- Jika anak dalam keadaan fakir dan tidak normal otaknya (gila).
Ulama telah sepakat bahwa seorang ayah wajib memberi nafkah kepada orang yang menyusui anaknya, dengan demikian seorang ayah berkewajiban pula memberi nafkah kepada anak-anaknya, bahkan memberi nafkah kepada anak-anaknya itu lebih wajib. Memberi nafkah kepada istri yang patuh kepada suami itu adalah wajib menurut kadar kemampuan suami. Apabila suami orang yang kaya, maka ia wajib memberi nafkah sebanyak 2 mud makanan pokok yang biasa berlaku di daerah itu dan harus membeli lauk pauk serta pakaian yang telah biasa berlaku, dan apabila suami tergolong orang yang tidak mampu, maka ia wajib memberi nafkah sebanyak 1 mud makanan pokok yang sesuai dengan kondisi daerah dan harus memberi lauk-pauk serta pakaian yang pantas baginya, dan apabila suami tergolong orang yang sedang maka nafkah istrinya adalah 1,5 mud dan harus memberi lauk-pauk serta pakaian yang sederhana (sedang). Apabila istri sudah pantas untuk diberi pelayan (pembantu), maka suami wajib mencarikannya, dan apabila seorang suami tidak mampu memberi nafkah kepada istri, maka istri berhak meminta fasakh (cerai) demikian juga apabila seorang suami tidak mampu untuk memberi mas kawin sebelum mengumpulinya, maka istri berhak meminta fasakh nikah. Istri berhak mendapatkan nafkah dari suami untuk melindungi jiwa, kesucian dan agamanya serta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perempuan dan anak yang menjadi korban atau saksi juga mendapat perlindungan sesuai Pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yaitu:
(1) Setiap korban dan saksi dalam Pelanggaran 2018 yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara Cuma-Cuma. (3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sosiologi (ilmu ijtima’i) mengajarkan kepada kita bahwa unit terkecil dalam masyarakat adalah keluarga. Keluarga memiliki peranan yang sangat signifikan dalam kehidupan masyarakat manapun. Keluarga adalah suatu bangunan tertentu (tersendiri) dalam struktur sosial.
Kesuksesan dan efisiensi dari tatanan sosial bergantung pada stabilitas keluarga dan harmonisasi internal rumah tangga. Stabilitas dan harmonisasi keluarga itu sangat bergantung pada kebaikan setiap anggota keluarga dalam memenuhi kewajiban terhadap anggota keluarga yang lain.
Begitu penting arti dari keberadaan unit-unit keluarga dalam sebuah masyarakat, dan begitu menentukan baik buruknya sebuah tatanan sosial yang ingin dibangun secara bersama-sama. Baik buruknya unit keluarga itu sendiri antara lain sangat ditentukan oleh disiplin dan kesadaran hukum masing-masing anggota keluarga terhadap hukum keluarga yang dianutnya. Bagi keluarga muslim, idealnya tentu menganut dan mengamalkan hukum keluarga Islam. Jika demikian halnya, mempelajari hukum keluarga Islam akan memiliki sejumlah manfaat bagi siapapun. Yang terpenting dalam hal diantaranya:
- Perlu membantu keluarga muslim untuk mengenali dengan baik hak dan kewajiban masing-masing sebagai anggota keluarga dalam sebuah keluarga.
- Mendorong setiap orang untuk mengerti dan menyadari tugas individu (perorangannya) dalam keluarga apakah dia sebagai suami atau istri maupun sebagai orang tua atau anak bahkan sebagai anggota keluarga lainnya semisal kakek nenek dan cucu cicit bila tinggal dalam satu rumah.
- Membantu seseorang atau keluarga muslim dalam upaya melaksanakan tugas hidup dan kehidupan keluarga yakni membentuk dan mempertahankan keluarga muslim yang sejahtera.
- Menimbulkan kesadaran dan rasa tanggung jawab sebagai anggota keluarga dalam sebuah keluarga muslim.
- Membantu mewujudkan tatanan sosial kemasyarakatan yang sejahtera dinamis dan mandiri.
Satu hal yang mutlak penting diingatkan di sini ialah bila keluarga muslim dengan para anggotanya benar-benar mengetahui dan sekaligus mengamalkan hukum keluarga Islam secara benar dan baik, niscaya keluarga yang bersangkutan akan menjadi keluarga yang benar-benar sakinah. Hanya keluarga-keluarga yang sakinah inilah sesungguhnya akan dapat membangun sebuah bangunan masyarakat, bangsa dan negara yang tangguh dan kuat. Keluarga sakinah itu tentu akan dapat dibangun dengan baik manakala setiap anggota keluarga benar-benar mengetahui dengan baik keberadaan hukum keluarga dalam hal ini hukum keluarga Islam bagi keluarga muslim.
Tidak diragukan lagi tentang arti penting dari keberadaan hukum keluarga Islam di tengah-tengah keluarga muslim dan tidak diragukan pula tentang hukum kewajiban untuk mempelajari dan mengajarkannya sebab seperti dikenal dalam kaidah usuliyah “maa laa yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajibun” sesuatu yang tidak akan sempurna (terwujud) manakala tidak ada sesuatu itu sendiri, maka sesuatunya itu juga menjadi wajib. Kaidah lain juga menyebutkan “al-amru bis-syai’i amrun bi-wasa’ilihi (perintah terhadap sesuatu harus diartikan pula dengan menyertakan perintah sesuatu yang menjadi perantaranya)”. Jika pengamalan hukum keluarga Islam bagi keluarga muslim itu wajib hukumnya maka hukum mempelajari dan mengajarkan hukum keluarga Islam bagi keluarga muslim juga tentu menjadi wajib.
kaidah usul fikih tersebut redaksinya sebagai berikut :
Artinya : “Sesuatu (media) yang wajib tidak akan sempurna tanpanya, maka sesuatu (media) itu adalah wajib”.
Artinya : “Bagi wasilah-wasilah (media-media) berlaku hukum tujuan”